Pepatah Jawa: Filosofi, Fungsi, dan Nilai dalam Kehidupan Masyarakat
PEPATAH JAWA: FILOSOFI, FUNGSI, DAN NILAI
Gatot Sarmidi
Masyarakat Melayu, Bali, Jawa dan beberapa masyarakat adat
Nusantara memiliki pepatah sebagai salah satu khasanah kesusastraan lama yang
mereka miliki. Pepatah pada umumnya memiliki fungsi sosiokultural sebagai
strategi membangun ketahanan budaya, juga sebagai strategi menciptakan
keharmonisan hidup dalam bermasyarakat.
Pepatah sendiri termasuk unen-unen, yakni ungkapan lisan
yang sifatnya turun temurun, berpola, dan disebarluaskan dari mulud ke mulud.
Jika diperhatikan dari bagaimana unen unen itu disampaikan.
Masyarakat Jawa mengenal, paribasan, bebasan, dan saloka. Sementara, pepatah
merupakan bagian di antara ketiga ungkapan itu. Termasuk di dalamnya juga,
nasihat, pantang larang, gugon tuhon, dan sesanti atau semboyan.
Urip iku urup (Hidup itu hendaknya memberi manfaat),Becik
ketitik, ala ketara(Perbuatan baik akan dikenali, sedangkan perbuatan Aja
gumunan, aja getunan ungkapan untuk
mengajarkan untuk tidak mudah terheran-heran atau menyesal, mencerminkan sikap
buruk akan tampak, Aja dumeh (jangan sok-sokan), Aja adigang, adigung, adiguna
(jangan menyombongkan diri karena kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian)
merupakan contoh pepatah dalam bahasa Jawa yang sering didengar dan mudah
dikenal.
Beberapa pepatah berdiri sebagai ungkapan langsung, beberapa
yang lain sebagai pepindan karena sifatnya yang metaforis dan memiliki teges
entar (makna konotasi) utama ungkapan tradisional yang tidak langsung.
Bagi orang Jawa, pepatah memiliki fungsi yang beragam. Tidak
saja pepatah dapat dijelaskan secara mendalam dan mengakar hingga secara
filosofis, pepatah berfungsi sebagai sebuah pemahaman yang dijadikan pandangan
hidup. Nasihat yang mampu menjadi ajaran hingga dijadikan semacam ideologi bagi
sebagian orang Jawa. Pepatah dipercaya sebagai ungkapan yang baik untuk
mendidik, membangun moralitas, dan budi pekerti. Sehingga, pepatah Jawa
memiliki fungsi edukatif terutama dalam relevansinya untuk pendidikan karakter
dan pendidikan nilai.
Melalui pepatah jer basuki mawa bea (setiap usaha baik
membutuhkan modal dan usaha) merupakan contoh yang dijadikan sesanti provinsi
dan masyarakat Jawa Timur. Pepatah itu merupakan contoh pepatah yang secara
filosofis bernilai budaya dan pendidikan. Tak hanya semboyan, tapi dengan
pepatah masyarakat Jawa Timur memiliki karakter kerja keras, rasional, tanggung
jawab, konsisten, kuat, tatag teteg tangguh, peduli, ulet, dan santun dalam menjalani hidup secara
individu atau bermasyarakat.
Pepatah Melayu pun sama atau beberapa pepatah di daerah lain
juga memiliki fungsi yang tidak berbeda dengan pepatah yang ada di Jawa.
Pepatah dijunjung tinggi oleh masyarakat adat. Keberadaannya dianggap sebagai
kearifan lokal masyarakat setempat. Misalnya, sinte mungerje sebuah pepatah
Gayo masyarakat Aceh Tengah pepatah yang berfungsi untuk mengajarkan
nilai-nilai tradisi dan budaya serta secara adat nilai-nilai melekat dari nilai
kehidupan masyarakat setempat. Pepatah Melayu, lain ladang lain ilalang sepadan
dengan pepatah Jawa desa mawa cara, negara mawa tata, lain tempat adat istiadat
dan tata caranya berbeda-beda sehingga bagi masyarakat multikultural, saling
menghormati dan saling menghargai itu penting sekali.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh atau rukun agawe
santosa, crah agawe bubrah kedua pepatah yang searti ini menunjukkan bahwa
pepatah berfungsi untuk mengendalikan konflik etnis dengan tujuan terciptanya
fungsi keharmonisan hidup. Secara nasional, pepatah yang sifatnya kedaerahan
selain sebagai pemertahanan budaya berperan terhadap fungsi ketahanan nasional.
Secara ideologis, pepatah yang ada di dalam kehidupan masyarakat adat dan
berkearifan lokal tersebut berperan dalam mengukuhkan konsep persatuan dan
kesatuan bangsa sebagaimana entitas masyarakat Indonesia yang berbineka tunggal
ika.
Penulis: Dr. Gatot Sarmidi, M.Pd dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia-Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas PGRI
Kanjuruhan Malang