LEBARAN DAN LARUNG, TINJAUAN SEMATIS JAWA
![]() |
Tradisi Larung Laut, Bentuk Syukur Suku Jawa Atas Hasil Alamnya |
Gatot Sarmidi
Mengapa lebaran dan larung? Pertanyaan yang mungkin tak saling berhubungan. Kata lebaran sering dikaitkan dengan musim. Misalnya pada musim mangga atau musim durian. Ketika sudah mulai habis musim, petani buah akan mengatakan musim mangga sudah lebar atau sudah tidak musim durian, sekarang sudah lebar.
Pada hari raya Idul Fitri, masyarakat Jawa
menyebut kata lebaran. Misalnya, Orang-orang kota mudik pada saat lebaran. Kata lebaran
bahkan mengganti kata hari raya. Secara
semsntis kata lebaran bermakna
selesai atau terbukanya ampunan.
Kata lebaran
tersandingkan kata luberan yang
bermakna meluber atau melimpah. Kata luberan
ini merupakan simbol ajaran bersedekah untuk kaum papa. Pada saat itu
orang-orang mendapatkan rezeki yang melimpah. Mereka mungkin mendapatkan
keberuntungan. Misalnya, pada saat menjelang lebaran mereka mendapatkan tunjangan hari raya.
Kata lebaran
sering dibandingkan kata leburan dengan
kata laburan dan liburan. Kata leburan dimaknai
melebur kesalahan dengan saling memaafkan atas segala kesalahan. Kata laburan
dimaksudkan sebagai simbol manusia untuk selalu menjaga kesucian dan
kebersihan.
Sebagian orang Jawa juga sering menggunakan
istilah ba’da sebagai sinonim dari
kata lebaran. Dalam arti, lebaran untuk menyebut hari raya. Kata ba’da berasal dari bahasa Arab bermakna
sesudah. Dalam konteks hari raya, kata ba'da
atau lebaran memiliki arti fase
setelah menjalankan ibadah puasa yang membuat manusia mendapatkan rahmat-Nya.
Kata lebaran
merupakan kata yang berkolokasi dengan kata fitri yang artinya suci karena telah mendapatkan ampunan-Nya
sehingga terbebaskan dari siksa api neraka.
Secara tradisional, masyarakat Jawa memiliki
simbol-simbol gastronomis yang menandai peristiwa seputar lebaran. Gastronomi tersebut berupa makanan kupat, lepet, lontong jangan. Sementara tradisi memasak dan
makannya diselenggarakan beberapa hari seputar lebaran yang disebut dengan kupatan.
Orang Jawa membuat kupat makanan dari beras yang ditempatkan pada janur yang dibentuk
secara khas dan dimasak sebagai pengganti nasi. Kupat disepadankan dengan
ungkapan ngaku lepat , artinya,
mengakui kesalahan. Di sisi lain memiliki kesepadanan dengan kata laku papat, artinya empat tindakan yang
dilakukan. Begitu juga dengan lontong, makanan semacam ketupat tapi bungkusnya
dari daun pisang. Lontong merupakan
akronim dari kata alon-alon dipotong, pelan
perlahan dipotong dengan harapan diampuni dosanya atau dipotong
kesalahan-kesalahannya, diamaafkan atau pelan-pelan diringankan.
Di musim lebaran, makanan ketupat tidak hanya menjadi kegiatan
masak ketupat, namun juga mengandung makna mendalam di baliknya. Lebaran
ketupat menjadi simbol dari rasa persaudaraan atau tali silaturahmi.
Di daerah tertentu ada makanan namanya kupat glabed. Makanan ini berupa ketupat
yang dimakan dengan kuah berwarna kuning kental. Kuah seperti itu menyimbolkan
kerukunan atau kekentalan kekerabatan, kekeluargaan, persaudaraan, maupun
persahabatan.
Prosesi ngaku lepat umumnya diimplementasikan
dengan tradisi sungkeman, yaitu seorang anak bersimpuh dan memohon maaf di
hadapan orangtuanya. Dengan begitu, kita diajak untuk memahami arti pentingnya
menghormati orang tua, tidak angkuh dan tidak sombong kepada mereka serta
senantiasa mengharap ridho dan bimbinganya.
Sungkeman
melambangkan penghormatan kepada orang tua dan
sesepuh, serta kerendahan hati untuk mengakui kesalahan dan memohon maaf (ngapura luput). Sungkem menjadi wujud
nyata dari nilai andhap asor (rendah
hati) yang dijunjung tinggi dalam budaya Jawa. Sehinga dengan tradisi semacam
itu, orang akan bebas dari pamrih (motif tersembunyi), iri dengki (iri hati), srei (dengki), dan berbagai bentuk energi
negatif lainnya. Jiwa yang bersih adalah jiwa yang jujur, tulus, dan memiliki
niat baik dalam segala tindakan.
Ini merupakan sebuah bukti cinta dan kasih
sayang seorang anak kepada orang tuanya begitupun orang tua kepada anaknya.
Prosesi ngaku lepat pun tidak hanya
berkutat pada tradisi sungkeman
seorang anak kepada orang tua, lebih jauh lagi adalah memohon maaf kepada
tetangga, kerabat dekat maupun jauh.
Selanjutnya makna kata larung. Kata larung memiliki
referensi budaya dan tradisi Jawa seperti pada kata lebaran. Arti larung digunakan
dengan air, yakni hanyut atau menghancurkan. Tradisi larung merupakan tradisi menghanyutkan. Misalnya larung sesaji ke sungai, laut, atau
danau.
Kata larung
bisa juga berarti membuang, melemparkan, atau menyedekahkan ke alam,
misalnya melarung ke kawah gunung.
Beragam penggunaan kata larung selain
pada tradisi larung sesaji. Orang
Jawa dengan beragam latar belakang melakukan tradisi upacara larung. Misalnya larung sembaya, sedekah bumi, mbucal. bersih laut, sedekah laut. Contoh
kegiatan larung pada saat petik laut
di pantai Sendangbiru kabupaten Malang.
Kata larung
memiliki lebaran maksud yang sama, yakni membersihkan atau menyucikan.
Duta tujuan ini penting untuk tujuan harmoni jiwa dan harmoni alam. Tradisinya
berbeda tetapi esensinya bagi orang Jawa memiliki makna, tujuan, dan fungsi
yang sama. Keduanya terkait dengan tradisi selamatan semacam selamat petik
laut. Keduanya juga bersifat gastronomis. Pada larung terdapat simbol-simbol
Jawa yang disombolisasikan melalui makanan seumpama tumpeng dan pecok bakal atau banten.
Gatot Sarmidi, Dosen Unikama.