2025/04/09

LEBARAN DAN LARUNG, TINJAUAN SEMATIS JAWA

Tradisi Larung Laut, Bentuk Syukur Suku Jawa Atas Hasil Alamnya



Gatot Sarmidi

Mengapa lebaran dan larung? Pertanyaan yang mungkin tak saling berhubungan. Kata lebaran sering dikaitkan dengan musim. Misalnya pada musim mangga atau musim durian. Ketika sudah mulai habis musim, petani buah akan mengatakan musim mangga sudah lebar atau sudah tidak musim durian, sekarang sudah lebar.

 

Pada hari raya Idul Fitri, masyarakat Jawa menyebut kata lebaran. Misalnya, Orang-orang kota mudik pada saat lebaran. Kata lebaran bahkan mengganti kata hari raya. Secara semsntis kata lebaran bermakna selesai atau terbukanya ampunan.

 

Kata lebaran tersandingkan kata luberan yang bermakna meluber atau melimpah. Kata luberan ini merupakan simbol ajaran bersedekah untuk kaum papa. Pada saat itu orang-orang mendapatkan rezeki yang melimpah. Mereka mungkin mendapatkan keberuntungan. Misalnya, pada saat menjelang lebaran mereka mendapatkan tunjangan hari raya.

 

Kata lebaran sering dibandingkan kata leburan dengan kata laburan dan liburan. Kata leburan dimaknai melebur kesalahan dengan saling memaafkan atas segala kesalahan. Kata laburan  dimaksudkan sebagai simbol manusia untuk selalu menjaga kesucian dan kebersihan.

Sebagian orang Jawa juga sering menggunakan istilah ba’da sebagai sinonim dari kata lebaran. Dalam arti, lebaran untuk menyebut hari raya. Kata ba’da berasal dari bahasa Arab bermakna sesudah. Dalam konteks hari raya, kata ba'da atau lebaran memiliki arti fase setelah menjalankan ibadah puasa yang membuat manusia mendapatkan rahmat-Nya.

Kata lebaran merupakan kata yang berkolokasi dengan kata fitri yang artinya suci karena telah mendapatkan ampunan-Nya sehingga terbebaskan dari siksa api neraka.

Secara tradisional, masyarakat Jawa memiliki simbol-simbol gastronomis yang menandai peristiwa seputar lebaran. Gastronomi tersebut berupa makanan kupat, lepet, lontong jangan. Sementara tradisi memasak dan makannya diselenggarakan beberapa hari seputar lebaran yang disebut dengan kupatan.

Orang Jawa membuat kupat makanan dari beras yang ditempatkan pada janur yang dibentuk secara khas dan dimasak sebagai pengganti nasi. Kupat disepadankan dengan ungkapan ngaku lepat , artinya, mengakui kesalahan. Di sisi lain memiliki kesepadanan dengan kata laku papat, artinya empat tindakan yang dilakukan. Begitu juga dengan lontong,  makanan semacam ketupat tapi bungkusnya dari daun pisang. Lontong merupakan akronim dari kata alon-alon dipotong, pelan perlahan dipotong dengan harapan diampuni dosanya atau dipotong kesalahan-kesalahannya, diamaafkan atau pelan-pelan diringankan.

Di musim lebaran, makanan ketupat tidak hanya menjadi kegiatan masak ketupat, namun juga mengandung makna mendalam di baliknya. Lebaran ketupat menjadi simbol dari rasa persaudaraan atau tali silaturahmi.

Di daerah tertentu ada makanan namanya kupat glabed. Makanan ini berupa ketupat yang dimakan dengan kuah berwarna kuning kental. Kuah seperti itu menyimbolkan kerukunan atau kekentalan kekerabatan, kekeluargaan, persaudaraan, maupun persahabatan.

Prosesi ngaku lepat umumnya diimplementasikan dengan tradisi sungkeman, yaitu seorang anak bersimpuh dan memohon maaf di hadapan orangtuanya. Dengan begitu, kita diajak untuk memahami arti pentingnya menghormati orang tua, tidak angkuh dan tidak sombong kepada mereka serta senantiasa mengharap ridho dan bimbinganya.

Sungkeman melambangkan penghormatan kepada orang tua dan sesepuh, serta kerendahan hati untuk mengakui kesalahan dan memohon maaf (ngapura luput). Sungkem menjadi wujud nyata dari nilai andhap asor (rendah hati) yang dijunjung tinggi dalam budaya Jawa. Sehinga dengan tradisi semacam itu, orang akan bebas dari pamrih (motif tersembunyi), iri dengki (iri hati), srei (dengki), dan berbagai bentuk energi negatif lainnya. Jiwa yang bersih adalah jiwa yang jujur, tulus, dan memiliki niat baik dalam segala tindakan.

Ini merupakan sebuah bukti cinta dan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya begitupun orang tua kepada anaknya. Prosesi ngaku lepat pun tidak hanya berkutat pada tradisi sungkeman seorang anak kepada orang tua, lebih jauh lagi adalah memohon maaf kepada tetangga, kerabat dekat maupun jauh.

Selanjutnya makna kata larung. Kata larung memiliki referensi budaya dan tradisi Jawa seperti pada kata lebaran. Arti larung digunakan dengan air, yakni hanyut atau menghancurkan. Tradisi larung merupakan tradisi menghanyutkan. Misalnya larung sesaji ke sungai, laut, atau danau.

Kata larung bisa juga berarti membuang, melemparkan, atau menyedekahkan ke alam, misalnya melarung ke kawah gunung. Beragam penggunaan kata larung selain pada tradisi larung sesaji. Orang Jawa dengan beragam latar belakang melakukan tradisi upacara larung. Misalnya larung sembaya, sedekah bumi, mbucal. bersih laut, sedekah laut. Contoh kegiatan larung pada saat petik laut di pantai Sendangbiru kabupaten Malang.

Kata larung memiliki lebaran maksud yang sama, yakni membersihkan atau menyucikan. Duta tujuan ini penting untuk tujuan harmoni jiwa dan harmoni alam. Tradisinya berbeda tetapi esensinya bagi orang Jawa memiliki makna, tujuan, dan fungsi yang sama. Keduanya terkait dengan tradisi selamatan semacam selamat petik laut. Keduanya juga bersifat gastronomis. Pada larung terdapat simbol-simbol Jawa yang disombolisasikan melalui makanan seumpama tumpeng dan pecok bakal atau banten.

Gatot Sarmidi,  Dosen Unikama.

Postingan Terkait